Rabu, Desember 02, 2009

Ketika Nafsu Mengalahkanku...

Robb..
Tak bisa ku tahan air mata ini
Masih deras membasahi pipi..
Hanya padaMU ku mengadu
Segala gundah di kalbu..

Sungguh..
Begitu hina diiriku
Tak bisa ku lawan nafsu
Sungguh..
Diriku berlumur dosa
Tak peduli dengan siksa neraka

Semakin deras air mata ini mengalir
Menyesali semua yang telah terjadi..
Semakin kuat namaMU menggetarkan bibir
Menyentuh ruang terdalam di hati..

Robb..
Betapa lemah imanku ini
Dibutakan oleh asmara cinta
Dikalahkan oleh nafsu belaka
Sungguh..begitu lemah, begitu hina!!

Ku lalaikan perintahMU
Ku abaikan ayat-ayatMU
Ku sia-siakan waktuku
Ku sesatkan diriku

Cinta kepada makhluk telah menjerumuskanku
Padahal ku tahu ia tak abadi
Segala harap hanya menyiksaku
Tak memberi ketenangan di hati

Ampuni hamba Ya Robb..
Ampuni hamba Ya Robb..
Ampuni hamba Ya Robb..

Robb..
CahayaMU..ku rindu cahayaMU
CahayaMU yang pernah hadir dalam hidupku
CahayaMU yang memberi kelembutan di jiwa
CahayaMU yang memberi ketenangan di hati

Inikah ujian dariMU?
Benarkah KAU sedang menguji imanku?

Hamba malu padaMU Robb..
Hamba kalah dalam ujianMU
Hamba takut padaMU Robb..
Hamba kalah melawan hawa nafsu

Kini..masih adakah cahaya itu untukku?
Yakin...ya, aku harus yakin!!
Aku pasti bisa..merasakan kembali cahayaMU dalam hidupku..

Hanya padaMU tempatku berharap
Hanya padaMU tempatku berlabuh
Kuharapkan cintaMU Robb..
Kulabuhkan cinta ini padaMU Robb..

"Ya Robb.. Berikanlah aku cintaMU,
cinta orang-orang yang mencintaimu
dan cinta pada amal yang mengantarkanku pada kecintaanMU"

"Wahai Dzat yang membolak-balikan hati
tetapkanlah hatiku dalam agamaMU"

Allahumma anta robbi
Zolam tu naf-si
Wa-in-lam -tag'fir-li
Wa-tar-ham -ni
La -aku-nan na minal-kho-si-rin

Allahumma anta robbi
a-in-ni-'ala-Zikrika-Was-s
yu'rika
wa-husni-min-iba-datik

Allahumma anta robbi
ikh-tim-ni-ya Allah
bi-hus nil kho-ti-mah
wa-la takh-tim-alaiya-ya Allah
bi-su-il kho-timah

Allahumma anta robbi
ta-qab-bal min-ni du'a-i
innaka-antas-samiul-a'lim
Wa-tub alaiya ya Allah
innaka-antat-tawwabur-rahim


(Dikeheningan malam bersamaMU)

Sabtu, Oktober 03, 2009

Aku Sampai Di Darus Sunnah.. Aku Rasakan Nikmatnya Belajar Hadis..



Hmm.. Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus Sunnah. Telingaku masih asing mendengarnya. Padahal pesantren ini terletak tak jauh dari kampus pascasarjana UIN Jakarta. Aku sebagai penduduk asli kota Jakarta masih buta tentang asal usul pesantren ini. Mungkin bukan hanya diriku, banyak penduduk asli Jakarta lainnya yang tidak tahu keberadaan pondok pesantren asuhan KH. Ali Mustafa Yaqub, MA ini.

Lalu, bagaimana aku bisa sampai disana dan merasakan nikmatnya belajar hadis?
Bermula dari sebuah sms yang ku terima dari nomor yang tak ku kenal. Isinya memberitahukan bahwa telah dibuka kursus Bahasa Arab setiap Ahad ba’da subuh di Darus Sunnah. Aku balas dengan menanyakan siapa pengirim sms dan di mana Darus Sunnah yang dimaksud? Ternyata si pengirim sms adalah seorang ikhwan yang pernah salah kirim sms beberapa bulan sebelumnya. Aku lupa siapa namanya, dan kini tak ada jejak lagi tentang dirinya kecuali alamat emailnya yang masih ku ingat, jachifu99@yahoo.com. Ia memberitahukan bahwa Darus Sunnah berlokasi di Pisangan Barat, tak jauh dari kampus pascasarjana UIN dan banyak mahasiswa dari Fakultas Dirasat Islamiyah yang belajar di sana. Aku abaikan sms itu dan tak pernah lagi ku bertanya-tanya tentang Darus Sunnah.

Beberapa bulan ku jalani aktivitas perkuliahan dengan penuh semangat. Setiap pagi menunggu bus, melawan rasa kantuk, menembus panas dan macatnya kota Jakarta. Selesai kuliah kembali ke rumah dengan rute dan bus yang sama. Sampai di rumah hanya lelah yang ku rasa, istirahat dan tidur jadi pilihan utama. Berbeda dengan teman-teman yang tinggal di kos atau di asrama. Tak perlu mebuang banyak waktu, tenaga dan biaya untuk menjalani aktivitas perkuliahan di kampus. Tapi aku tak pernah berfikir untuk tinggal di kos atau di asrama. Toh aku masih bisa pulang pergi setiap hari. Di rumahpun aku rasa jauh lebih nikmat, segala fasilitas dan kebutuhan serba mudah didapatkan. Aku pun masih rindu dengan suasana rumahku setelah 4 tahun ku bermukim di pondok.

Darus Sunnah kembali menyapa alam pikiranku, tepatnya setelah aku kenal dengan seorang alumni Darus Sunnah yang juga alumni Fakultas Dirasat Islamiyah, Rezki Daswir. Perkenalanku dengannya memang hanya lewat dunia maya, tapi dari dirinyalah aku mulai ingin tahu lebih dalam apa itu Darus Sunnah? “Ilmu yang didapat di Darus Sunnah jauh lebih banyak daripada sekedar di kampus… ” , itu kata-kata kak Iki (panggilan akrab Rezki Daswir) yang masih ku ingat. Aku masih belum berminat pada saat itu, tapi hati kecilku terus mencari tahu seperti apa Darus Sunnah yang banyak didatangi mahasiswa fakultasku itu. Perbincangan tentang Darus Sunnah pun semakin menarik, lebih-lebih ketika ku tahu ternyata ada dua orang teman sekelasku yang belajar dan tinggal di sana. Muhammad Hasan Basri (Madura) dan Tubagus Hasan Basri (Pandeglang) adalah dua temanku yang boleh dibilang sangat aktif di kelas, keilmuan yang mereka miliki selalu terlihat di setiap diskusi kelas. Selidik punya selidik, mereka adalah mahasantri Darus Sunnah, begitu sebutan bagi mahasiwa yang belajar di Darus Sunnah. Tak hanya dua orang teman kelasku yang membuatku semakin penasaran dengan Darus Sunnah, tapi juga kakak-kakak kelasku yang banyak menuntut ilmu di sana. Mereka bukan orang sembarangan, mereka adalah mahasiswa yang aktif di fakultas, bahkan ketua BEM Fakultas pun ternyata seorang mahasantri Darus Sunnah.

Pencarianku mengenai Darus Sunnah terus ku lakukan. Browsing di internet salah satunya, ku cari tahu profil sang pengasuh pondok, KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. Subhanallah.. beliau adalah imam besar masjid Istiqlal Jakarta, wakil ketua fatwa MUI dan juga dikenal sebagai ahli hadis yang ada di Indonesia. Pencarian berlanjut ke profil Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus Sunnah. Ada ketertarikan dalam hatiku saat ku baca profil pondok itu. Namun, masih ada yang mengganjal. “Mungkinkah aku kuliah di dua tempat? Bisakah ku membagi waktu dengan baik? Siapkah ku tinggal di asrama lagi?...”, itu yang terlintas di pikiranku saat itu. Semua butuh pengorbanan. Setiap keputusan ada resikonya dan siapkah aku dengan semua itu?

Sampai suatu hari ku utarakan keinginanku untuk belajar di Darus Sunnah dengan orang tuaku. Ternyata respon mereka sangat positif, padahal mereka pun belum tahu seperti apa Darus Sunnah itu. Mereka mendukung keinginanku itu dan memang itulah yang mereka harapkan, berharap aku terus mendalami ilmu agama, tak hanya di kampus saja. Niatku mulai mantap untuk mengambil keputusan belajar di Darus Sunnah dan semakin mantap setelah aku mengikuti pelatihan takhrij hadis kerja sama Fakultas Dirasat Islamiyah dengan Darus Sunnah, banyak ilmu yang ku dapat di sana. Pelatihan dua hari aku rasa tidak cukup untuk menguasai hadis dan ilmu hadis. Aku semakin haus dengan ilmu hadis. Sampai suatu malam aku bermimpi sedang berbincang-bincang dengan imam besar masjid Istiqlal itu, KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. Aku terbangun dan benar-benar takjub dengan mimpiku. Bagaimana bisa seorang ahli hadis ternama di Indonesia masuk ke dalam mimpiku? Aku pun belum pernah bertatap muka langsung dengannya. Sejak saat itu ku pastikan langkahku menuju Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus Sunnah.

Ujian masuk pun dimulai, karena niatku begitu mantap aku pun datang dengan persiapan yang cukup matang. Alhamdulillah ujian tulis berhasil ku lalui. Selang 2 hari ku ikuti ujian lisan. Alhamdulillah.. Allah menghendaki langkahku menuntut ilmu di Darus Sunnah. Dari ratusan peserta yang mengikuti tes hanya 13 putra dan 12 putri yang terpilih dan resmi menjadi mahasantri Darus Sunnah tahun ajaran 2009-2010. Tak henti-hentinya ku ucapkan rasa syukurku ini. Orang tuaku pun ikut tersenyum bahagia.

Seminggu sudah aku mengikuti kegiatan di Darus Sunnah. Subhanallah…. Suasana belajar yang tidak kutemukan di tempat lain. Lantunan para mahasantri yang membaca Manzhumah Baiquni setiap memulai pengajian begitu syahdu, mengkaji kutubus sittah bersama KH. Ali Mustafa Yaqub, MA dengan penuh semangat. Belajar bersama setiap ba’da Isya pun cukup menyenangkan. Di sinilah ajang kita berbagi ilmu, bersama mengkaji dan menelaah kitab. Benar-benar suasana yang merindukan, suasana yang jarang ada di kalangan mahasiswa zaman sekarang ini.

Langkahku ke depan masih panjang. Aku harus terus berjuang menuntut ilmu. Aku harus bisa menyelesaikan studiku dengan baik, 3 tahun kedepan di kampus UIN dan 4 tahun kedepan di Darus Sunnah. Syukurku padaMU ya Robby.. aku diberi kesempatan untuk merasakan nikmatnya belajar hadis di Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus Sunnah.

Perjalananku Menuntut IlmuMU

Ya, Menuntut Ilmu…

Kewajiban seorang muslim yang tak perlu dipertanyakan lagi.
Ilmu Allah begitu luas.. maka tak ada kata puas dalam meraihnya.
Begitu pula dengan umur.. tak ada kata batas tuk menguasainya.

Selagi kita hidup.. disanalah kita menuntut ilmu.

Aku dilahirkan dalam keluarga yang biasa saja. Namun, tak lepas dari nilai-nilai Islam. Ayahku bukanlah seorang kyai, tapi ia punya cita-cita mulia, ia ingin anak-anaknya memahami betul agama Islam, bisa mengamalkan ilmu agama pada masyarakat, bisa mendirikan pesantren. Pesan yang selalu ia arahkan pada kami, anak-anaknya:
“Apapun cita-cita kalian nanti, tetaplah kalian berpegang pada ajaran Islam. Kalian harus punya pondasi yang kuat, agama yang kuat. Boleh jadi dokter, tapi dokter yang islami. Boleh jadi presiden, tapi presiden yang islami.. Salah satu jalan untuk menempuh itu adalah belajar di pesantren”.



Ya, itu sebagian kecil pesannya yang ku ingat. Ayah selalu memotivasi anak-anaknya tuk belajar di pesantren selepas SD. Kakakku telah menjadi contoh yang baik untuk adik-adiknya. Selama 6 tahun ia belajar di Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo. Ketika ku lulus SD, akupun memilih jalan yang sama. Tanpa ragu ku pilih Gontor Putri sebagai tempatku menuntut ilmu. Namun, perjalananku menuntut ilmu tak semudah yang ku bayangkan. Banyak rintangan dan ujian yang harus ku lewati. Apalagi belajar di pondok, jauh dari orang tua, makan sederhana, mengurusi segala kebutuhan sendiri, belum lagi masalah-masalah dengan teman, kakak kelas ataupun dengan asatidz yang selalu datang silih berganti. Intinya semua harus disiplin. Jika tidak, kita akan kalah dengan berbagai macam aturan.

Sayang seribu sayang, aku memang kalah… Kalah melawan rintangan belajar di pondok pesantren. 4 bulan pertama ku lalui dengan baik. Namun, di bulan berikutnya perubahan itu terjadi. Semua terjadi begitu saja, entah mengapa ku merasa tak tahan dengan semua yang ada di pondok. Ku merasa jenuh, takut, sendiri, ingin bebas, dsb.. Sampai ku jatuh sakit dan akhirnya ku utarakan keinginanku tuk keluar dari Gontor. Ayahku yang datang dengan niat tuk mengantarkan sajadah untukku seketika lemas, ya.. lemas mendengarkan keinginanku itu. Ku bisa lihat raut kekecewaan di wajahnya. Tapi saat itu tak ada yang lain dipikiranku, kecuali pulang dan berhenti. Sampai akhirnya.. Ayah tak bisa berbuat apa-apa, kecuali menuruti permintaanku itu.

Perjalananku meuntut ilmu selanjutnya berada di sebuah madrasah tsanawiyah yang jaraknya lumayan jauh dari tempat tinggalku, MTs. Al Falah. Di sana perjalanan baruku dimulai. Ku lalui hari-hariku dengan suka cita, nyaris tak ada hambatan yang berarti. Tiap tahun prestasiku selalu meningkat. Sampai memasuki tahun ketiga, tahun terakhir di tingkat SMP, aku mulai berfikir kembali. Mau kemana lagi?? Ya, kemana lagi akan ku lanjutkan perjalananku ini. Seperti ada yang mengganjal di hatiku, ada keinginan yang harus ku penuhi. 3 tahun ku belajar di MTs, tapi..ku merasa ada sesuatu yang belum kudapatkan di sini. Apa itu?? hatiku terus bertanya sampai ku buat suatu keputusan. “kembali ke pondok pesantren..” itu yang terlintas seketika. Ada yang hilang ketika ku tinggalkan dunia pesantren, ada yang tidak ku dapatkan selama belajar di MTs. Aku merasa sekaranglah saatnya ku kembali ke dunia pesantren dan mendapatkan kebahagiaan tersendiri di dalamnya. Sekaranglah ku buat orang tuaku tersenyum kembali menyaksikan anaknya menuntut ilmu di pesantren.

Pondok Pesantern La Tansa, menjadi saksi perjalananku di tingkat SMA. Di sinipun jalanku tak semulus belajar di MTs. 4 tahun kujalani dengan berbagai macam rintangan. 4 tahun kulalui dengan suka dan duka. Bertahan.. ku tetap bertahan dalam kondisi apapun. Ada kalanya hati ini ingin bebas lagi, ingin menikmati dunia luar yang serba menggiurkan. Namun, aku terus bertahan, itu semua adalah godaan syaitan, aku tak ingin kalah lagi. Kali ini aku harus menang, menang melawan segala rintangan seorang tholib al ‘ilm . Alhamdulillah.. aku sampai ke batas, batas akhir menuntut ilmu di Pondok Pesantren La Tansa. Ku pulang dengan membawa yudisium mumtaz. Tapi, siapa yang akan menilai yudisium yang ku bawa? Tak kan ada.. masyarakat hanya menunggu ilmu yang ku bawa. Selepas dari pondok, bukan berarti aku bebas dari segala aturan. Di sinilah perjuangan hidup yang sesungguhnya, ya.. di masyarakat.

Perjalanan selanjutnya adalah menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Semua teman-teman bersaing mengikuti ujian masuk perguruan tinggi favorit, berlomba memilih jurusan paling bergengsi. Bagaimana denganku? Aku pun sempat bimbang, antara 2 pilihan. Banyak teman-teman yang menyaraniku untuk memilih jurusan IT. Ya, karena mereka memang melihat aku punya kemampuan lebih di bidang itu. Terlebih lagi karena jabatanku sebagai sekretris OSIS yang selalu berada di depan komputer. Akupun tak menafikan diriku bahwa aku memang hobi dengan hal-hal berbau IT. Tapi, ku selalu berkonsultasi dengan orang tuaku, terutama Ayah. Aku ingat kata-kata Ayahku:
“Apa ga sayang sama ilmu agama yang sudah dipelajari? Apa ga mau memperdalam ilmu agama lagi? Sudah cukup ilmu agama yang kamu punya? Semua keputusan sih terserah kamu.. Ayah ga pernah memaksa. Pilih jurusan yang kamu suka. Anak-anak lain bagus jadi dokter, jadi insinyur.. tapi Ayah akan lebih bangga melihat anak-anak Ayah jadi ahli agama..”.
Hatiku terus berperang, ku hanya bisa memohon petunjuk Robbku. Istikharah menghiasi malam-malamku.

Perjalanan pertamaku menempuh perguruan tinggi dimulai di ITB. Tawaran beasiswa santri berprestasi dari DEPAG sudah di depan mata. Aku lulus seleksi tahap pertama, ITB jurusan IT. Tahap kedua kul alui, hasilnya memang tak memuaskan. Berarti, ITB bukanlah tempat terbaik untukku. Ku lupakan segala macam tentang IT, tapi aku masih penasaran. Bisakah ku menjadi mahasiswa jurusan IT? Sampai akhirnya ku ikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi (SNMPTN). Ku pilih IT pastinya, tak tanggung-tanggung.. UI dan ITB jadi pilihanku. Ternyata, IT memang bukan yang terbaik untukku. Terbukti aku memang tak lulus dalam ujian itu. Aku terus memohon petunjuk Robbku, memohon diberi keyakinan yang mantap dalam memilih jurusan yang terbaik untukku.

UIN Jakarta, LIPIA, dan IIQ, menjadi pilihan selanjutnya. Tak ada lagi pikiran tentang IT, yang ada hanyalah jurusan agama. Aku tak boleh salah langkah, di sini perjuangan untuk masa depanku dipertaruhkan. Akhirnya, ku langkahkan kakiku ke UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk mendaftar. Satu-persatu ku baca profil setiap fakultas yang ada, sampai ku temukan Fakultas Dirasat Islamiyah. Masih sangat asing ku mendengarnya, tapi ketika ku baca dengan detail, seperti ada magnet yang menarikku ke dalamnya. Aku pun terus menelusuri seperti apa fakultas ini. “Waah…ini bagus nih!! Kamu pilih ini aja, Res..” spontan Ayahku berkata seperti itu setelah ku beritahu info tentang Fakultas Dirasat Islamiyah. Bahasa pengantar perkuliahan Bahasa Arab, menggabungkan mata kuliah Ushuluddin, Syari’ah dan Sastra Arab, kerjasama dengan universitas Al Azhar Kairo, memiliki peluang untuk melanjutkan S2 di timur tengah. Itu sekilas promosi yang ditawarkan di Fakultas Dirasat Islamiyah. Bismillahirrahmaanirrahiim
.. Fakultas Dirasat Islamiyah pilihanku. Dengan matap hatiku memilihnya. Terlebih lagi setelah suatu malam aku dapatkan petunjuk Robbku dalam mimpiku. Aku bermimpi sedang mendaftar ulang di sebuah perguruan tinggi. Ketika salah satu petugas menanyakan jurusanku, dengan lantang aku menjawab: “Fakultas Dirasat Islamiyah”. Memang inilah yang terbaik untukku, pilihanku, pilihan orangtuaku dan pilihan Robbku, aku lulus dan resmi menjadi mahasiwa Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Itulah sekilas perjalananku menuntut ilmu. Kini, perjalanan itu semakin terjal, tahun ini ku memasuki semester 3, semakin berat rintangan yang harus ku lalui. Walau bagaimanapun, ini adalah karuniaMU, ini adalah nikmatMU. Syukurku padaMu ya Robby.. Kau berikanku jalan yang baik dalam menuntut ilmu. Kau beri kemudahan di setiap kesulitan yang ku hadapi. Aku kan terus berjuang. Terima kasihku pada guru-guruku yang telah membimbingku dengan tulus ikhlas. Semoga Allah membalas segala jasa-jasamu.. Terima kasihku pada Ayahanda dan Ibunda tercinta yang senantiasa rela berkorban demi perjalananku meuntut ilmuMU, kau berikan yang terbaik untuk anak-anakmu, orang tuaku.. kalian adalah guru terbaik sepanjang perjalananku menuntut ilmu. Doa ananda senantiasa untukmu, kedua orang tuaku..
“robbighfirlii wa liwaalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii shogiiroo..
Amiin Ya Robbal ‘Alamiin”

Syukurku Atas NikmatMU

Robby.......
sungguh ku tak dapat melukiskan nikmat yang Kau berikan
luasnya lautan, tingginya gunung, hamparan kata-kata..
tak kan sanggup melukiskan segala nikmatMU

umurku, waktuku, masa sehatku, adalah nikmatMU..
keluargaku, guru-guruku, sahabatku, adalah nikmatMU..

Syukur Nikmat...
itulah yang hendaknya senantiasa kita lakukan..

Saudaraku..
Sahabatku..

ku buat blog ini sebagai rasa syukurku atas segala nikmat dalam hidupku..
nikmat Tuhanku.. nikmat Rabbku..

semoga segala pengalaman, harapan dan impian yang tertuang dalam tulisan di blog ini dapat bermanfaat bagi kita semua dalam mentafakkuri nikmat Allah SWT..

ya... Tahaddus Binni'am..
bersama... kita bermuhasabah, bertafakkur, bersyukur atas segala hal yang melekat dalam hidup kita..

dan semoga..
Ridho Allah senantiasa mengiringi langkah perjuangan kita di dunia ini.. hingga kita kembali ke pangkuanNya..

Amin Ya Rabbal 'Alamiin..