Sabtu, Oktober 03, 2009

Perjalananku Menuntut IlmuMU

Ya, Menuntut Ilmu…

Kewajiban seorang muslim yang tak perlu dipertanyakan lagi.
Ilmu Allah begitu luas.. maka tak ada kata puas dalam meraihnya.
Begitu pula dengan umur.. tak ada kata batas tuk menguasainya.

Selagi kita hidup.. disanalah kita menuntut ilmu.

Aku dilahirkan dalam keluarga yang biasa saja. Namun, tak lepas dari nilai-nilai Islam. Ayahku bukanlah seorang kyai, tapi ia punya cita-cita mulia, ia ingin anak-anaknya memahami betul agama Islam, bisa mengamalkan ilmu agama pada masyarakat, bisa mendirikan pesantren. Pesan yang selalu ia arahkan pada kami, anak-anaknya:
“Apapun cita-cita kalian nanti, tetaplah kalian berpegang pada ajaran Islam. Kalian harus punya pondasi yang kuat, agama yang kuat. Boleh jadi dokter, tapi dokter yang islami. Boleh jadi presiden, tapi presiden yang islami.. Salah satu jalan untuk menempuh itu adalah belajar di pesantren”.



Ya, itu sebagian kecil pesannya yang ku ingat. Ayah selalu memotivasi anak-anaknya tuk belajar di pesantren selepas SD. Kakakku telah menjadi contoh yang baik untuk adik-adiknya. Selama 6 tahun ia belajar di Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo. Ketika ku lulus SD, akupun memilih jalan yang sama. Tanpa ragu ku pilih Gontor Putri sebagai tempatku menuntut ilmu. Namun, perjalananku menuntut ilmu tak semudah yang ku bayangkan. Banyak rintangan dan ujian yang harus ku lewati. Apalagi belajar di pondok, jauh dari orang tua, makan sederhana, mengurusi segala kebutuhan sendiri, belum lagi masalah-masalah dengan teman, kakak kelas ataupun dengan asatidz yang selalu datang silih berganti. Intinya semua harus disiplin. Jika tidak, kita akan kalah dengan berbagai macam aturan.

Sayang seribu sayang, aku memang kalah… Kalah melawan rintangan belajar di pondok pesantren. 4 bulan pertama ku lalui dengan baik. Namun, di bulan berikutnya perubahan itu terjadi. Semua terjadi begitu saja, entah mengapa ku merasa tak tahan dengan semua yang ada di pondok. Ku merasa jenuh, takut, sendiri, ingin bebas, dsb.. Sampai ku jatuh sakit dan akhirnya ku utarakan keinginanku tuk keluar dari Gontor. Ayahku yang datang dengan niat tuk mengantarkan sajadah untukku seketika lemas, ya.. lemas mendengarkan keinginanku itu. Ku bisa lihat raut kekecewaan di wajahnya. Tapi saat itu tak ada yang lain dipikiranku, kecuali pulang dan berhenti. Sampai akhirnya.. Ayah tak bisa berbuat apa-apa, kecuali menuruti permintaanku itu.

Perjalananku meuntut ilmu selanjutnya berada di sebuah madrasah tsanawiyah yang jaraknya lumayan jauh dari tempat tinggalku, MTs. Al Falah. Di sana perjalanan baruku dimulai. Ku lalui hari-hariku dengan suka cita, nyaris tak ada hambatan yang berarti. Tiap tahun prestasiku selalu meningkat. Sampai memasuki tahun ketiga, tahun terakhir di tingkat SMP, aku mulai berfikir kembali. Mau kemana lagi?? Ya, kemana lagi akan ku lanjutkan perjalananku ini. Seperti ada yang mengganjal di hatiku, ada keinginan yang harus ku penuhi. 3 tahun ku belajar di MTs, tapi..ku merasa ada sesuatu yang belum kudapatkan di sini. Apa itu?? hatiku terus bertanya sampai ku buat suatu keputusan. “kembali ke pondok pesantren..” itu yang terlintas seketika. Ada yang hilang ketika ku tinggalkan dunia pesantren, ada yang tidak ku dapatkan selama belajar di MTs. Aku merasa sekaranglah saatnya ku kembali ke dunia pesantren dan mendapatkan kebahagiaan tersendiri di dalamnya. Sekaranglah ku buat orang tuaku tersenyum kembali menyaksikan anaknya menuntut ilmu di pesantren.

Pondok Pesantern La Tansa, menjadi saksi perjalananku di tingkat SMA. Di sinipun jalanku tak semulus belajar di MTs. 4 tahun kujalani dengan berbagai macam rintangan. 4 tahun kulalui dengan suka dan duka. Bertahan.. ku tetap bertahan dalam kondisi apapun. Ada kalanya hati ini ingin bebas lagi, ingin menikmati dunia luar yang serba menggiurkan. Namun, aku terus bertahan, itu semua adalah godaan syaitan, aku tak ingin kalah lagi. Kali ini aku harus menang, menang melawan segala rintangan seorang tholib al ‘ilm . Alhamdulillah.. aku sampai ke batas, batas akhir menuntut ilmu di Pondok Pesantren La Tansa. Ku pulang dengan membawa yudisium mumtaz. Tapi, siapa yang akan menilai yudisium yang ku bawa? Tak kan ada.. masyarakat hanya menunggu ilmu yang ku bawa. Selepas dari pondok, bukan berarti aku bebas dari segala aturan. Di sinilah perjuangan hidup yang sesungguhnya, ya.. di masyarakat.

Perjalanan selanjutnya adalah menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Semua teman-teman bersaing mengikuti ujian masuk perguruan tinggi favorit, berlomba memilih jurusan paling bergengsi. Bagaimana denganku? Aku pun sempat bimbang, antara 2 pilihan. Banyak teman-teman yang menyaraniku untuk memilih jurusan IT. Ya, karena mereka memang melihat aku punya kemampuan lebih di bidang itu. Terlebih lagi karena jabatanku sebagai sekretris OSIS yang selalu berada di depan komputer. Akupun tak menafikan diriku bahwa aku memang hobi dengan hal-hal berbau IT. Tapi, ku selalu berkonsultasi dengan orang tuaku, terutama Ayah. Aku ingat kata-kata Ayahku:
“Apa ga sayang sama ilmu agama yang sudah dipelajari? Apa ga mau memperdalam ilmu agama lagi? Sudah cukup ilmu agama yang kamu punya? Semua keputusan sih terserah kamu.. Ayah ga pernah memaksa. Pilih jurusan yang kamu suka. Anak-anak lain bagus jadi dokter, jadi insinyur.. tapi Ayah akan lebih bangga melihat anak-anak Ayah jadi ahli agama..”.
Hatiku terus berperang, ku hanya bisa memohon petunjuk Robbku. Istikharah menghiasi malam-malamku.

Perjalanan pertamaku menempuh perguruan tinggi dimulai di ITB. Tawaran beasiswa santri berprestasi dari DEPAG sudah di depan mata. Aku lulus seleksi tahap pertama, ITB jurusan IT. Tahap kedua kul alui, hasilnya memang tak memuaskan. Berarti, ITB bukanlah tempat terbaik untukku. Ku lupakan segala macam tentang IT, tapi aku masih penasaran. Bisakah ku menjadi mahasiswa jurusan IT? Sampai akhirnya ku ikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi (SNMPTN). Ku pilih IT pastinya, tak tanggung-tanggung.. UI dan ITB jadi pilihanku. Ternyata, IT memang bukan yang terbaik untukku. Terbukti aku memang tak lulus dalam ujian itu. Aku terus memohon petunjuk Robbku, memohon diberi keyakinan yang mantap dalam memilih jurusan yang terbaik untukku.

UIN Jakarta, LIPIA, dan IIQ, menjadi pilihan selanjutnya. Tak ada lagi pikiran tentang IT, yang ada hanyalah jurusan agama. Aku tak boleh salah langkah, di sini perjuangan untuk masa depanku dipertaruhkan. Akhirnya, ku langkahkan kakiku ke UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk mendaftar. Satu-persatu ku baca profil setiap fakultas yang ada, sampai ku temukan Fakultas Dirasat Islamiyah. Masih sangat asing ku mendengarnya, tapi ketika ku baca dengan detail, seperti ada magnet yang menarikku ke dalamnya. Aku pun terus menelusuri seperti apa fakultas ini. “Waah…ini bagus nih!! Kamu pilih ini aja, Res..” spontan Ayahku berkata seperti itu setelah ku beritahu info tentang Fakultas Dirasat Islamiyah. Bahasa pengantar perkuliahan Bahasa Arab, menggabungkan mata kuliah Ushuluddin, Syari’ah dan Sastra Arab, kerjasama dengan universitas Al Azhar Kairo, memiliki peluang untuk melanjutkan S2 di timur tengah. Itu sekilas promosi yang ditawarkan di Fakultas Dirasat Islamiyah. Bismillahirrahmaanirrahiim
.. Fakultas Dirasat Islamiyah pilihanku. Dengan matap hatiku memilihnya. Terlebih lagi setelah suatu malam aku dapatkan petunjuk Robbku dalam mimpiku. Aku bermimpi sedang mendaftar ulang di sebuah perguruan tinggi. Ketika salah satu petugas menanyakan jurusanku, dengan lantang aku menjawab: “Fakultas Dirasat Islamiyah”. Memang inilah yang terbaik untukku, pilihanku, pilihan orangtuaku dan pilihan Robbku, aku lulus dan resmi menjadi mahasiwa Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Itulah sekilas perjalananku menuntut ilmu. Kini, perjalanan itu semakin terjal, tahun ini ku memasuki semester 3, semakin berat rintangan yang harus ku lalui. Walau bagaimanapun, ini adalah karuniaMU, ini adalah nikmatMU. Syukurku padaMu ya Robby.. Kau berikanku jalan yang baik dalam menuntut ilmu. Kau beri kemudahan di setiap kesulitan yang ku hadapi. Aku kan terus berjuang. Terima kasihku pada guru-guruku yang telah membimbingku dengan tulus ikhlas. Semoga Allah membalas segala jasa-jasamu.. Terima kasihku pada Ayahanda dan Ibunda tercinta yang senantiasa rela berkorban demi perjalananku meuntut ilmuMU, kau berikan yang terbaik untuk anak-anakmu, orang tuaku.. kalian adalah guru terbaik sepanjang perjalananku menuntut ilmu. Doa ananda senantiasa untukmu, kedua orang tuaku..
“robbighfirlii wa liwaalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii shogiiroo..
Amiin Ya Robbal ‘Alamiin”

0 komentar: